- AJI - PFI Semarang : Polri Tak Pernah Belajar, Beri Sanksi Tegas Ajudan Kapolri 'Arogan'
- Hari HAN ke-52, Pj Wali Kota Salatiga : Kekerasan Terhadap Anak di Salatiga Didominasi Bullying
- Bupati Blora Akhirnya Pecat Oknum Satpol PP Arogan
Baca Juga
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu sorotan khusus Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos P2PA) Kabupaten Demak.
Tak hanya melakukan upaya pencegahan melalui sosialisasi tapi juga menyiapkan paralegal untuk mendampingi para korban agar mendapatkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sekretaris Dinsos P2PA, Betti Susilowati menekankan pentingnya sosialisasi tersebut sebagai langkah preventif untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan.
"Harapannya, kegiatan ini mampu mencegah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan yang berkelanjutan. Dalam sosialisasi kami selalu mengundang banyak pihak, lintas komunitas, OPD agar dapat menyebarluaskan informasi lebih lanjut," ucapnya, Jumat (14/6).
Sementara itu, Bibik Nurudduja dari Pelayanan Hukum PTT Harapan Baru Dinsos P2PA Kabupaten Demak, menyoroti bahwa ketidakadilan gender yang disebabkan oleh budaya patriarki yang mengutamakan dominasi laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai subordinat.
"Relasi gender yang tidak setara dan praktik budaya patriarki adalah faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan," jelasnya.
Sedangkan, Gayatri Rajapatni, Wakil Komunitas Gerakan Solidaritas Perempuan Demak memyampaikan bahwa berbagai bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta undang-undang lainnya.
Ia pun menyatakan bahwa akan selalu berada bersama Dinsos Demak serta paralegal yang lain dalam menangani kekerasan seksual pada anak dan perempuan. Pihaknya akan selalu berpihak pada korban sampai jika memang ada pembuktian sebaliknya.
"Kekerasan seksual di Demak itu diluar apa yang kita bayangkan, memprihatinkan sekali. Kami selalu mendampingi korban, berpihak pada korban hingga bila akhirnya ternyata pembuktiannya di persidangan berbeda, korban ternyata berbohong misalnya," ucapnya.
Kepada korban, ia menyebut akan berupaya sebisa mungkin akan memberikan bantuan hingga maksimal, terutama pada traumanya. Kendati demikian ada beberapa kasus yang kadang terpaksa ia hentikan.
"Di kasus pencabulan dan pemerkosaan misalnya. Jika ternyata korban dan keluarga memilih untuk berdamai dan mendapat uang kami berhenti. Kami akan mendampingi jika korban fight sampai jalur hukum dan membuat pelaku jera, dan sedihnya banyak yang terpaksa memilih jalur dinikahkan dan tutup mulut," terangnya.
Terkait pemberitaan soal kasus sodomi dengan pelaku kyai di sebuah pondok pesantren, ia menyebut bahwa ia orang pertama yang meminta para orang tua korban tidak menerima iming-iming yang ditawarkan pelaku.
Ia menambahkan, dalam kasus ini ia memahami apaabila media tidak meviralkannya, karena dampaknya akan jadi luar biasa dan tentunya berimbas ke pondok pesantren yang lain. Tapi kalau viral, ia harap untuk tidak mengekspos korban.
"Jika viral pasti akan berimbas ke Pondok Pesantren seluruh Indonesia. Kalau bagi kami, yang utama adalah kyai tersebut di jatuhi hukiman berat, ponpesnya di tutup, korban benar - benar didampingi agar tidak jadi pelaku baru bagi orang lain," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, seorang tokoh agama di Demak menjadi tersangka kasus pelecehan terhadap puluhan santrinya.
Pelaku ditangkap polisi atas laporan dugaan pelecehan dari pihak keluarga para korban yang kebanyakan berasal dari luar kota, antara lain Kudus, Jepara, dan Grobogan.
Berdasarkan penelusuran redaksi, kasus ini sudah masuk ke proses hukum dan pelaku pelecehan telah menjalani hukuman di Rutan Demak.
Dari informasi yang diperoleh di lapangan, pelaku sejak dahulu dikenal keluarganya dan warga sekitar pondok pesantren memiliki kelainan seksual penyuka sesama jenis.
Namun, kebenaran proses hukum kelanjutan kasus ini sekarang simpang siur. Redaksi pun mencoba untuk mencari informasi lebih lanjut terkait masalah ini.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Satake Bayu, saat dikonfirmasi membenarkan jika kasus tersebut dan proses hukum seluruhnya ditangani penyidik Polres Demak.
"Polres Demak yang menangani kasus tidak masuk ke Polda," kata Satake melalui pesan tertulis, Rabu (12/6).
Hasil penelusuran dari beberapa sumber, kasus pelecehan pelaku terhadap puluhan santrinya itu dilakukan dengan modusnya memijat.
Di kalangan pondok pesantren, pelaku memang terkenal seorang spiritualis bidang pijat kesehatan.
Terbongkarnya kasus sendiri, terungkap dari pengakuan para santri satu-persatu saling terbuka hingga informasi mulut ke mulut, diketahui pihak keluarga korban masing-masing. Korban pelecehan akhirnya terbuka dan jujur bercerita ke keluarganya.
Totalnya sebanyak 38 santri laki-laki menjadi korban pelecehan, rata-rata anak-anak di bawah umur. Selain itu juga ada korban 6 santriwati yang diduga juga mengalami perundungan oleh pelaku.
Para santri di pondok pesantren, sebagian besar juga sudah tahu kebiasaan sang kyai sering memijat santri-santrinya.
- Peringatan Hari Kartini Kota Semarang, Wali Kota Ingin Perempuan Bergerak Nyata
- Peran Perempuan Berdaya Kalipucang, Dibalik Pelestarian Batik Rifa'iyah
- Endang Setyowati Ajak Perempuan Blora Tangguh, Mandiri dan Cerdas