Saat mendengar bahwa Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) melalui perubahan undang-undang yang prosesnya termasuk kilat khusus, terbersit bahwa itu adalah upaya Presiden Terpilih memberi ruang peran kepada Presiden yang digantikannya.
Terbayang skenario bahwa DPA akan menjadi lembaga politik era Kerajaan Majapahit, Bathara Sapta Prabu yang menjadi ruang resmi ibu suri sekaligus mantan raja Majapahit Tribhuana Tungga Dewi membantu pemerintahan Dyah Hayam Wuruk.
Terbayang betapa DPA baru yang undang-undangnya sedang dikebut akan menjadi lembaga tinggi negara yang punya peran penting. Terbayang pula kekuatan yang signifikan DPA baru, yang kemungkinan akan dipimpin Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, akan diisi oleh para pimpinan puncak partai politik yang menjadi pengusung Paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakambuming Raka di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Tidak seperti DPA lama yang pertama kali dibentuk oleh Presiden Soekarno pada 25 September 1945 yang beranggotakan 11 orang diketuai oleh R Margono Djojohadikusumo, sampai dihapuskan dengan Keputusan Presiden Nomor 135 /M/ 2003 pada 31 Juli 2003 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
DPA baru yang dasar hukumnya diperkirakan terbit sebelum Oktober 2024 ini ditengarai bakal menjadi Lembaga Tinggi Negara yang kuat karena (dalam bayangan penulis) struktur utamanya kemungkinan diisi oleh para petinggi Parpol lolos parliamentary threshold 2024 seperti Hashim Djohjohadikusumo (mewakili Gerindra), Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat) Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Zulkifli Hasan (PAN).
Bayangan liar yang timbul, dalam skenario itu akan masuk pula petinggi partai pendukung non-parlemen seperti Anis Matta (Parta Gelora), Yusril Ihza mahendra (PBB), Kaesang Pangarep (PSI) dan Ahmad Ridha Sabana (Partai Garuda) serta satu tokoh militer dan satu tokoh Polri yang disegani. Tokoh yang ada dalam bayangan itu di antaranya Agum Gumelar, AM Hendro Priyono, Wiranto, Da'i Bachtiar serta Sutanto.
Angan-angan dan bayangan tersebut makin menguat setelah membaca draft RUU DPA yang diinisiasi DPR. Kenapa?
Karena dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU), khususnya di Pasal 12 draf RUU, disebutkan jenis rangkap jabatan yang tidak diperbolehkan hanya mencakup tiga hal yaitu a. pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. pejabat struktural pada instansi pemerintah; dan c. pejabat lain.
Ini berbeda dengan Undang-undang (UU) Wantimpres yang tegas melarang pimpinan partai politik, pimpinan organisasi kemasyarakatan, pimpinan lembaga swadaya masyarakat, pimpinan yayasan, pimpinan badan usaha milik negara atau badan usaha milik swasta, pimpinan organisasi profesi, dan pejabat struktural pada perguruan tinggi, baik negeri mau pun swasta sebagai anggota.
Dalam DPA baru, syarat keempat yang diatur dalam UU Wantimpres bakal ditiadakan. Artinya, kecuali pejabat negara dan pegawai instansi pemerintah diperbolehkan masuk dalam struktur DPA baru.
Jika akhirnya rancangan itu ditetapkan sebagai undang-undang, terbuka peluang DPA menjadi semacam ruang kedua bagi unsur penting dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam mendukung Kabinet Prabowo-Gibran merealisasikan makan siang gratis yang sebelum sempat dilaksanakan berubah nama menjadi makan bergizi gratis.
Bukan tidak mungkin, DPA baru akan menjadi kekuatan alternatif penyeimbang DPR untuk cawe-cawe secara konstitusional terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan status sebagai Lembaga Tinggi Negara yang memiliki kewenangan legal, mendapat anggaran resmi dari negara dalam bentuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dan menjadi bagian dari protokol pemerintahan tingkat nasional, DPA yang akan lahir ini tidak boleh dipandang dengan sebelah mata. Di tangan orang-orang dengan kemampuan dalam manuver politik yang sering tak terduga, sebuah lembaga yang dipandang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa; begitu pula sebaliknya.
Dalam khazanah budaya, idealnya suatu dewan pertimbangan yang agung ibarat sekumpulan guru yang mampu memberikan bekal secara lengkap kepada murid-muridnya dalam meniti kehidupan. Bentuk bekal tersebut adalah Tutur, Wuwur, Sembur. Tutur adalah nasihat yang bernas dan lahir dari perenungan mendalam serta pengalaman yang cukup dari para guru. Para guru di padepokan dinarasikan memberikan
Itu asumsinya, kalau DPA yang akan hadir menggantikan Wantimpres memang disiapkan untuk Jokowi dan para petinggi partai politik pendukung KIM. Kita tidak bisa memastikannya, sebelum semuanya dinyatakan secara resmi.
Belakangan ini banyak rancangan politik yang memberi sign atau lampu sinyal belok kiri, ternyata membelok ke kanan. Apalagi, saat ditanya wartawan di Halim Perdanakusuma pada Selasa (16/07) menjelang bertolak ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Presiden Jokowi mengatakan "Sampai saat ini rencana saya masih belum berubah".
Presiden seperti mengulang pernyataannya seusai mengunjungi Pasar Tradisional Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (02/01/2024) yang menyatakan kegiatannya setelah pensiun. "Ya jadi rakyat biasa. Kembali ke Solo, jadi rakyat biasa," ujar Jokowi.
Tidak perlu menebak-nebak, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Lebih relevan jika kita mencoba memahami apa tugas dewan pertimbangan yang agung itu.
Kata kunci pertimbangan di dewan yang agung, dalam rancangannya sejauh ini tidak berbeda dengan pertimbangan presiden. Mengacu pada Pasal 16 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kita mengenal pola budaya dalam bentuk piwulang (pengajaran) tentang bagaimana nasihat, pertimbangan, saran, diberikan kepada seseorang akan dan sedang mengemban amanat penting.
Dalam narasi singkat Tutur, Wuwur, Sembur, Makna Tutur adalah nasihat dari orang tua, guru, sesepuh yang punya pengalaman luas, memiliki pengetahuan yang tinggi, dan dari orang-orang yang punya kelebihan tertentu. Tutur yang diberikan kepada orang yang mengemban amanat, dipastikan pemberiannya melalui persiapan yang maksimal sehingga nasihatnya bernas, mentes.
Ada pun Wuwur adalah tindakan memberi bekal dalam bentuk material mau pun non-material. Bentuk material bisa berupa harta benda, pusaka, atau bentuk lain yang bisa dinilai dengan uang; sementara yang berbentuk non-fisik adalah proses didikan dan pengajaran yang panjang.
Sedangkan Sembur adalah doa, atau kalau era dulu mantra.
Semoga saja DPA mendatang apakah dipimpin Jokowi atau yang lain, bisa memberikan pertimbangan, nasihat, yang setara dengan Tutur, Wuwur, Sembur kepada Presiden dan Kabinetnya agar bisa melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan, ketenteraman, dan keadilan.
Tulisan Merupakan Opini Atau Pendapat Pribadi, Tidak Mewakili Lembaga Dan Institusi RMOLJawaTengah.
- Catatan Duet Ahmad Luthfi – Taj Yasin Memimpin Jateng (1)
- Hasto Kristiyanto, Wassalam!
- Masa Depan Demokrasi Kita: Antara Pesimisme dan Optimisme