Uang serangan fajar setiap Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih calon tertentu ditanggapi beragam oleh warga Kabupaten Batang serta Pekalongan. Ada yang pro maupun kontra. Dibenci, sekaligus dicari.
- Jelang Puncak Ibadah Haji, Pj Bupati Kudus Sapa 1395 Jamaah Haji asal Kota Kretek
- Sewindu Ganjar Pranowo Pimpin Jawa Tengah : Jungkir Balik Melawan Covid-19, Jateng Masih Penyumbang Terbesar Nasional
- Tata Ruang: Perlukah Mengajak Milenial Jadi Petani?
Baca Juga
Farhat, warga Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang, misalnya yang secara pribadi menolak, namun lingkungan sekitarnya menerima.
Hingga akhirnya, ia pun menganggap yang dari caleg atau timses peserta pemilu hanya sebagai ganti uang bensin atau kerja.
"Ya kalau di Desa saya efektif untuk mendulang suara, apalagi di kampung. Kalau tidak ada yang ngasih, mendingan kerja di sawah," katanya saat berbincang dengan RMOL Jateng, Senin (27/11) siang.
Secara pribadi, ia pun mengatakan bahwa banyak warga yang sebenarnya tidak kenal dengan para caleg, baik sosok maupun namanya. Banyak yang baru tahu nama setelah menerima uang karena disebut namanya.
Lalu, selain serangan fajar, pernah ada caleg yang membantu Mushola kampung. Caleg tersebut yang dipilih mayoritas warga yang menggunakan Mushola.
"Untuk pribadi tidak setuju, kalau orang lain setuju saja. Bagi saya, yang itu bukan alat politik, tapi sebagai ganti tidak kerja sehari," jelasnya.
Lain halnya dengan Nadia (28) warga Kecamatan/Kabupaten Batang yang siap menerima uang dari caleg ataupun timses. Namun, ia tidak menjamin akan memilih caleg atau peserta pemilu yang memberinya amplop berisi uang.
"Kalau saya tetap cari background calegnya. Milih tetap sesuai pilihan saya. Kalau serangan fajar? Namanya rezeki tidak boleh ditolak," ujarnya lalu tertawa.
Lain halnya dengan Naira (25), warga Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan yang menganggap bahwa uang serangan fajar hal yang wajib. Tanpa ada itu, besar kemungkinan caleg tidak akan terpilih.
"Kalau di kampung saya sejak Pemilu pasti dapat serangan fajar. Ya kalau gak bagi uang, gak bakal dipilih. Kayak pemilihan Kades, yang janjiin doorprize besar tidak menang. Yang ngasih yang menang," ucapnya.
Ia menyebut bahwa kampungnya sudah ada langganan caleg tiap Pemilu. Pilihannya pun tetap sama.
Politik Uang, Akar Korupsi
Organisasi Pemantau Pemilu Perisai Demokrasi Bangsa menilai bahwa politik uang adalah akar masalah korupsi yang terus terjadi.
"Bagaimana pun setiap politisi ingin modal yang sudah dikeluarkan kembali atau balik modal," kata Pemantau Pemilu Perisai Demokrasi Bangsa, Muhamad Muntaha, kepada RMOL Jateng.
Ia menyebut, masyarakat harus berani menolak politik uang. Hal itu agar azas pemilu yang luber jurdil itu benar-benar bisa dilaksanakan.
Muntaha menggarisbawahi ada yang berbeda pada pemilu 2024, yaitu pemilu dengan separuh lebih pemilihnya adalah generasi muda yang melek informasi dan tentunya tingkat SDM yg lebih tinggi.
"Harus nya kesadaran tentang penolakan terhadap politik uang harus lebih melek," ucapnya.
Ia menganggap bahwa politik uang seharusnya dihindari. Namun, saat ini sistem perpolitikan di Indonesia belum berjalan semestinya.
Lalu dari sisi Parpol juga belum bisa menjalankan kaderisasi dengan ideal. Hal itu tampak darj banyak caleg yang maju bukan karena dorongan dari masyarakat yang akan di wakili suaranya.
"Politik uang digunakan untuk menggaet suara masyarakat yang kadang tidak kenal siapa caleg yang bakal dicoblosnya," jelasnya.
Idealnya bagi pemilih maupun caleg harus sama-sama menolak. Para caleg pun harus punya strategi yang lain agar budaya ini tidak terus menerus.
Sebab, politik uang membuat caleg sangat dirugikan dengan ongkos politik yang begitu mahal. Sehingga kontestasi hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang punya duit saja, bukan berdasarkan kapasitas dan kualitas caleg.
Masyarakat juga harus menyadari politik uang hanya kesenangan sesaat dan tidak baik untuk jangka panjang.
"Tapi realita di lapangan memang masih sangat jauh dari yang di angankan. Masyarakat seakan menganggap wajar kontestasi 5 tahunan kalau siapa yg akan dicoblos ya harus bagi-bagi amplop," katanya.
Muntaha menyatakan masyarakat juga tidak bisa disalahkan ketika semakin apatis terhasap politik.
"Banyak yang beranggapan juga terima saja uang nya, toh paling kalau sudah jadi bakal lupa tidak memperjuangkan suara masyarakat di parlemen," ucapnya
Masyarakat menganggap para anggota legislatif hanya datang ke Dapil saat mau nyalon saja. Hal ini menandakan pendidikan politik di masyarakat memang masih sangat kurang.
Pendidikan politik ini bukan hanya tanggung jawab penyelenggara pemilu saja, pemerintah dan juga partai politik semestinya harus menghadirkan pendidikan politik bagi masyarakat.
"Rakyat yang tersadarkan akan menghasilkan pemilu yang jujur, pemilu yang jujur akan menghasilkan para pemimpin berkualitas," jelasnya.
- Sewindu Ganjar Pranowo Pimpin Jawa Tengah: Clean Government, Tapi Masih Ganjar Sentris
- Forkopimda Cek Surat Suara Demi Sukseskan Pilkada Temanggung 2024
- Tata Ruang: Perlukah Mengajak Milenial Jadi Petani?