Cerita Emak-emak di Kota Pekalongan jadi Korban Mafia Tanah

Ilustrasi mafia tanah/ Net
Ilustrasi mafia tanah/ Net

Sri Astutik (52), seorang ibu merupakan istri ahli waris tanah, mengaku sebagai korban mafia tanah di Kota Pekalongan. Kasus ini mencuat setelah terjadi pertarungan hukum antara ahli waris dengan pihak pembeli yang dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH).


"Awalnya tanah keluarga seluas 5.660 meter persegi dijual ke kontraktor bernama Pak Ghozali namun masih diberikan uang panjar sebesar Rp100 Juta," kata Astutik, Kamis (15/2/).

Namun, tanah tersebut tidak kunjung dilunasi selama empat tahun (2015-2018). Akibatnya, semua ahli waris sepakat mencabut penjualan tanah. Hal ini berujung pada mediasi oleh APH menghasilkan tawaran kesepakatan untuk dipotong tanahnya seluas 1.300 meter persegi sebagai ganti biaya sudah dikeluarkan oleh pembeli.

"Pak Ghozali mengklaim telah menghabiskan biaya menguruk tanah itu sebesar Rp500 Juta belum termasuk biaya lainnya. Padahal beliau belum sah menjadi pemilik tanah," ungkapnya.

Tidak hanya itu, tanah diklaim oleh Ghozali sebagian juga telah dijual lagi kepada petinggi BMT Pak ZND. Padahal, secara hukum kepemilikan tanah masih sah ada di tangan ahli waris.

Ia juga menyoroti proses split tanah yang dilakukan oleh notaris pada tahun 2018-2022. Saat hendak mengambil tiga sertifikat hasil split, keluarga hanya mendapatkan dua sertifikat karena satu sertifikat dinyatakan hilang oleh pihak notaris.

"Saat displit, luas tanah malah berkurang 206 meter persegi. Padahal sebelumnya luas tanah adalah 5.660 meter persegi. Kami merasa ada yang tidak beres," tambahnya.

Belum selesai dengan masalah sertifikat yang hilang dan tanah yang berkurang, muncul klaim pengajuan tanah dengan luasan yang sama atau 206 meter persegi dari pihak lain yang disebut sebagai tanah tidak bertuan.

Menyikapi hal ini, Astutik menduga adanya praktik mafia tanah yang melibatkan pihak-pihak tertentu, termasuk kantor notaris ternama di daerahnya. Untuk menghentikan praktik ini, keluarga ahli waris telah mengadu ke LBH Adhiyaksa.

Direktur LBH Adhiyaksa, Didik Pramono mengonfirmasi, adanya aduan terkait dugaan mafia tanah yang melibatkan kantor notaris tersebut.

"Kami sudah mengumpulkan sejumlah barang bukti dan melakukan investigasi. Hasilnya akan kami sampaikan jika para terduga pelaku tidak kooperatif," tegasnya.

Dia mengharapkan penegak hukum dapat bertindak tegas untuk mengungkap praktik mafia tanah merugikan masyarakat. Kasus ini juga menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi tanah agar tidak menjadi korban praktik kriminal seperti ini.