Buku Karya Kyai Tafsir Gambarkan Perwajahan Luwes Muhammadiyah

Bedah buku karya Kiai Tafsir digelar di Universitas Muhammadiyah Kudus sebagai forum penguatan literasi para akademisi dan mahasiswa. Arief Edy Purnomo/Dok.RMOLJateng
Bedah buku karya Kiai Tafsir digelar di Universitas Muhammadiyah Kudus sebagai forum penguatan literasi para akademisi dan mahasiswa. Arief Edy Purnomo/Dok.RMOLJateng

Kelahiran Muhammadiyah untuk memudahkan, menampilkan wajah dakwah yang luwes serta menggembiarakan di Indonesia, dikupas tuntas melalui  bedah buku berjudul ‘Dilema Purifikasi Muhammadiyah antara Progresivisme dan Konservatisme.’

Kegiatan bedah buku karya Kiai Tafsir ini, diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU) pada Rabu (21/2) ini, sebagai forum penguatan literasi para akademisi dan mahasiswa dalam konteks pemikiran Islam di kampus setempat.

Rektor Universitas Muhammadiyah Kudus, Edy Soesanto yang membuka seremonial kegiatan itu, sangat mengapresiasi pihak penerbit buku karya Kyai Tafsir yakni Suara Muhammadiyah.

“Kegiatan mimbar akademik (bedah buku) ini, sebagai forum penguatan literasi para akademisi dan juga mahasiswa dalam konteks pemikiran Islam,” ujar Edy Soesanto.

Edy menilai bahwa buku karya Kyai Tafsir menggambarkan wajah Muhammadiyah yang ramah dan sudah semestinya antara budaya dan agama berjalan beriringan. 

“Karena sejarah masuknya Islam di Indonesia juga sarat dengan budaya. Dan bukan melalui jalur peperangan sebagaimana yang terjadi di dunia Arab,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja menambahkan, kelahiran Muhammadiyah adalah untuk mempermudah umat Islam menjalani kehidupan, baik menyangkut ibadah maupun muamalah.

“Kelahiran Muhammadiyah di Indonesia untuk memudahkan dan menampilkan wajah dakwah yang luwes serta menggembirakan,” tukasnya.

Sementara, Riska Himawan sebagai pembedah buku karya Kyai Tafsir menyimpulkan, buku tersebut berisi pilihan dakwah yang problematik. Selain itu, menyajikan purifikasi yang ditekankan lebih bersahabat dengan budaya.

Menurut Riska, nilai di dalam budaya perlu disentuh sesuai ajaran Islam. Namun demikian, budayanya tetap dilestarikan sepanjang masih bisa ditoleril, agar dakwahnya tetap terasa lembut dan lebih humanis.

“Menarik apa yang disampaikan penulis, Kiai Tafsir menjelaskan bahwa Muhammadiyah lahir bukan merubah dalil, tapi hanya merubah cara pandang yang lebih progresif dengan konsep tajdidnya,” paparnya.

Riska mencontohkan, Kyai Tafsir menyebut bahwa dulu para santri di pondok pesantren identik dengan penyakit kulit (gudik). 

Kondisi ini terjadi karena cara pondok pesantren memandang sebuah dalil. Salah satu dalilnya adalah dalam air dua kulah (kolam), maka di situ tidak ada najis.

“Sementara dalam hal air suci ini, Muhammadiyah melakukan tajdid sehingga lahirlah air wudhu dari kran. Dua kulah itu ada dalilnya dan suci, tapi kran selain suci juga sehat. Itulah contoh tajdid ilmu agama beriringan dengan ilmu kesehatan,” paparnya.