Bonus Demografi: Berkah Atau Kutuk?

Tangkapan Layar Meeting Yang Diskusikan Bonus Demogragi Dan Grand Design Pembangunan Kependudukan Yang Dipimpin Oleh Prof Budi Setyono PhD. Humas Kemendukbangga
Tangkapan Layar Meeting Yang Diskusikan Bonus Demogragi Dan Grand Design Pembangunan Kependudukan Yang Dipimpin Oleh Prof Budi Setyono PhD. Humas Kemendukbangga

Jakarta - Indonesia sudah berada di dalam era Bonus Demografi dan Pemerintah sudah membuat Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK) untuk mengoptimalisasinya. Bonus Demografi ini masuk dalam kurun waktu 2020 hingga 2030 yang akan datang.


Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Sekretaris Utama BKKBN, Prof Budi Setyono PhD dalam Kick Off Meeting Peta Jalan Kependudukan Dan Kependudukan pada Jumat (21/03)..

Sekertaris Kementerian itu lugas mengatakan bawa faktor penentu keberhasilan bonus demografi adalah usia produktif berkualitas, partisipasi perempuan dalam pasar kerja, dan pemerintah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin serta pengendalian tingkat kelahiran.

Prof Budi selanjutnya mengatakan bahwa dalam Grand Design Pembangunan Kependudukan ada sasaran dan indikator peta jalan pembangunan kependudukan 2025-2029, "Yaitu terdiri dari sasaran pengendalian kuantitas penduduk; peningkatan kualitas penduduk; pembangunan keluarga; penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk; integritas data kependudukan.”

Ia mengingatkan bonus demografi dapat menjadi peluang emas untuk menjadikan Indonesia Emas di tahun 2045, dapat juga menjadi bencana apabila tidak dapat mengatasi tantangan yang terjadi.

Ia memberi contoh tentang tantangan pada saat ini. “Tantangan yang kita hadapi saat ini adalah jumlah angkatan kerja dan pengangguran. Jumlah angkatan kerja yang besar tetapi angka pengangguran tinggi maka beban yang produktif akan berat menanggung pengangguran; jenis pekerjaan; tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan, sebesar 50% perempuan di usia produktif tidak bekerja pada sektor formal sehingga tidak berkontribusi secara fiskal dan menjadi dependent variabel dalam konteks kependudukan,”

Ia juga mengemukakan bahwa ada orang yang tidak bisa masuk ke market job competition karena kurang keahlian, kurang pendidikan dan juga belum ada sertifikasi yang akibatnya mereka menganggur atau menjadi pekerja tetapi di sektor informal yang tidak berkontribusi secara fiskal.

“Contohnya seperti pemulung, tukang becak, pedagang kaki lima yang secara umum mereka tidak berkontribusi. Karena NPWP mereka tidak punya dan tidak membayar pajak; lalu ada pertumbuhan perkapita; dan persentase penduduk miskin,” kata Prof Budi menyinggung soal perpajakan.

Sebagai rujukan, catatan Dirjen Pajak tahun 2024 menyatakan pembayar pajak di Indonesia sebesar 69 juta orang, sementara usia produktif di Indonesia sebesar 195 juta jiwa. “Artinya banyak usia produktif tetapi tidak ikut menyumbang membayar pajak karena 59% bekerja di sektor informal,” urainya.

Menurut data Susenas tahun 2020, dari 270,20 juta jiwa penduduk di Indonesia, Gen Z dan Milenial mendominasi dengan jumlah 27,94% dan 25,87%.

Adapun arah kebijakan GDPK kemudian dicapai menggunakan Peta Jalan 5 tahunan dan Rencana Aksi Tahunan yang implementatif terhadap 5 sasaran, pembangunan kependudukan yang akan dicapai.

Kemendukbangga/BKKBN saat ini memiliki 5 Quickwin sebagai solusi beberapa tantangan tersebut di atas, yakni Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting), Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya), Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), Lansia Berdaya, dan Super Apps Keluarga Indonesia.