- Merancang Bersama Materi Press Release Untuk Media Mesir
- Langkah Sunyi Diplomasi Indonesia Di Panggung Perdamaian Dunia
- Tujuh Bangsa Menjaga Damai Di Gurun Sinai
Baca Juga
Jakarta - Kemacetan panjang yang terjadi di sekitar Kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis (17/04). Diperkirakan adalah kemacetan lalu lintas yang terparah. Namun, kemacetan bukan hal baru bagi kawasan pelabuhan ini. Bagi sopir truk macet sudah jadi bagian dari hidup. Sejak Kamis malam hingga Jumat pagi, antrean kendaraan mengular 8 kilometer dari Sungai Bambu hingga gerbang Pelabuhan Tanjung Priok (Kompas, 18/04).
Akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok hanya mengandalkan jalan raya. Sementara akses jalan rel sudah tidak begitu diminati, selain mahal juga tidak praktis. Menggunakan jalan rel, lebih mahal ketimbang jalan raya. Menggunakan jalan rel, mahal, disebabkan menggunakan BBM non subsidi, masih dikenakan PPN 11% dan dikenakan track access charge (TAC).
Moda transportasi jalan umumnya lebih murah jika digunakan untuk angkutan yang jaraknya relatif pendek, yakni kurang dari 500 km, untuk kereta api lebih kompetitif pada jarak menengah antara 500 – 1.500 km dan untuk jarak lebih dari 1.500 km moda transportasi laut akan lebih murah (Rodrigue and Comtois,2006).
Di laut tidak ada pedoman (guidelines) untuk menghitung kapasitas pelabuhan (port capacity) seperti bandara (airport). Pembangunan di Pelabuhan Tanjung Priok memperbesar terus kapasitas sisi laut, namun kapasitas sisi darat tidak dikembangkan. Dalam perhitungan kapasitas harus dimasukkan ketersediaan tempat parkir truk, toilet dan lain-lain. Kapasitas yang paling kecil atau minimal itulah yang harus dipakai sebagai patokan.
Jika hal yang sangat mendasar itu tidak menjadi perhatian, maka kemacetan lalu lintas ini akan terus terjadi. Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok harus ditata ulang termasuk area penyangga (buffer zone) antara pelabuhan dengan lingkungan pertokoan dan pemukiman harus ada jarak minimal 1 km daerah buffer zone harus bebas dari bangunan. Kita harus ikuti layout asli kawasan pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan itu Cempaka Mas dan sampai ke timur.
Uang taping untuk parkir sebesar Rp 17.500 sekali masuk Pelabuhan Tanjung Priok sangat memberatkan pengemudi truk. Hal ini dibayar dengan uang jalan para pengemudi truk.
Perparkiran adalah konsesi dari pemerintah. Biaya biaya semacam ini selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost), hal ini juga tidak jelas maksud dan manfaatnya. Penarikan biaya pada ranah publik harus jelas peruntukan dan manfaatnya. Ruang publik bukan untuk sebagai ladang penghasil uang, tapi sudah ada aturannya.
Jika setiap usaha di ruang publik terutama yang sifatnya untuk pelayanan umum seperti pelabuhan, jalan tol, dan lain-lain, kebijakanya mestinya tidak boleh untuk mencari keuntungan perusahaan, akan tetapi sifatnya hanya cost recovery saja.
Maka dari itu tidak heran biaya logistik (cost logistic) di Indonesia sangat mahal, dikarenakan pemerintah salah menerapkan konsep kebijakan. Jika dibandingkan dengan negeri tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, maka biaya produksi (production cost) barang di Indonesia jauh lebih tinggi. Selain cost logistic, juga biaya perizinan yang ruwet dan mahal. Hal ini juga masih harus menanggung biaya oknum Aparat Penegak Hukum (APH) dan preman yang tambah hari tambah marak.
Semua biaya biaya tambahan seperti ini sangat menjadi beban sehingga Indonesia kehilangan daya saing dan kebijakan pemerintah yang sering tidak berpihak untuk lokal.
Disamping itu, kejadian itu merupakan dampak dari kesalahan kebijakan yang diterapkan pemerintah. Pada angkutan Lebaran, pemerintah terlalu lama membatasi (aktivitas) operasional logistik, bahkan sampai 16 hari. Pembatasan operasional angkutan logistik semestinya tidak boleh lebih dari lima hari.
Kondisi itu menyebabkan bongkar muat di pelabuhan menumpuk, bahkan tersendat. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi mengingat kelancaran distribusi logistik menjadi salah satu indikator perputaran ekonomi.
Di sisi lain, kemacetan parah yang terjadi juga jadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan angkutan barang berbasis rel dibanding jalan raya. Sebenarnya, di zaman Belanda, jalur rel sudah terhubung dengan dermaga. Tujuannya, agar alur angkutan barang bisa lebih lancar. Namun, kini hampir semua jalur itu diputus. Tersisa hanya di Pelabuhan Tanjung Intan (Cilacap).
Sejumlah akses pelabuhan di jaman Belanda sudah lengkapi dengan jalan rel dan area penyangga, seperti di Pelabuhan Belawan (Medan), Pelabuhan Teluk Bayur (Padang), Pelabuhan Panjang (Lampung), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Pelabuhan Juwana (Pati), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). Sekarang area penyangga itu telah berubah fungsi menjadi pemukiman dan perumahan.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan itu agar tidak terulang. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan lagi akibat kesalahan kebijakan dan pada akhirnya juga negara merugi, karena pertumbuhan ekonominya tidak tercapai.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat_
- Kapolrestabes Silaturahmi Dengan FKPM Da’i Kamtibmas, Perkuat Sinergi Untuk Semarang Kondusif
- TP PKK Batang Sosialisasikan Gemar Makan Ikan
- Dandim 0721/Blora: Ajak Insan Pers Sinergi Dan Dukung Publikasi Inbox