Banteng-banteng Mbedal dari Kandangnya

Hasil quick count Pilres direlease beberapa lembaga survei menjadi tengara bagi punggawa partai banteng mencereng. Jawa Tengah menjadi kandangnya tak luput kebobolan. Banteng-banteng ‘mbedal’ dari kendang adalah isyarat perlu disikapi sungguh-sungguh dengan bijaksana. Ada sedang sakit di sini. Atau setidaknya menimpa para punggawa juga kader-kader partai dinahkodai Putri Sang Proklamator ini untuk bangkit dan berbenah.


Selama ini banteng banteng nyaris selalu loyal titah sang Ketum, Megawati. ‘Pejah Gesang Nderek Banteng’ adalah jargon kuat mengakar di hati. Jejak yang menjadi portofolio kemegahan PDI Perjuangan di Jawa Tengah telah teruji. Testemoni dapat menjadi bench mark adalah Pilpres 2019. 

Jawa Tengah di bawah kepemimpinan Bambang ‘Pacul’ Wuryanto menorehkan capaian 70 persen lebih. Prestasi itu identik dengan 11-an juta suara berhasil diraupnya. Tanpa sokongan suara dari ‘kandang banteng’ bisa jadi Joko Widodo-Makruf bakal keok saat itu.

Karenanya menjadi pertanyaan di sini, mengapa kali ini banteng banteng ‘mbedal’ alias tidak menunaikan titah Megawati. Bahkan Solo Raya, ketika kampanye sempat mencuat gerakan ‘Solo pro Ganjar, bukan Gibran; namun hasil yang didapat ‘Rudy CS’ tak luput juga tumbang. Wajar dedengkot PDI Perjuangan Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, alias Rudy tak kuasa menahan pedih, hingga air mata menitik.

"Saya yang salah, jangan salahkan kader, saya siap mempertanggungjawabkan pada ibu (Megawati)," begitu ungkapan mantan Wakil Jokowi saat memimpin Kota Solo ini, begitu mengetahui hasil quick count. 

Untuk diketahui ‘Pak Brengos’ sapaan akrab lain untuk FX Hadi Rudyatmo selain sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo, dia pernah mendampingi Joko Widodo menjadi wakilnya selama dua periode. Ketika Jokowi mengikuti kontestasi Pilkada DKI Rudy ikut ‘nyengkuyung’ juga. Begitu pun saat Jokowi berlaga di Pilpres 2014 dan 2019 kiprah Rudy selalu di garda depan.

Pecah Kongsi

Angin berbalik baru pada Pilpres 2024 lalu. Benih benih sengkarut mulai bertiup ketika DPC PDI Perjuangan Kota Solo merekomendasikan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Duet tersebut adalah hasil rapat pleno DPC PDI Perjuangan Kota Solo untuk dimintakan rekomendasi DPP PDI Perjuangan dalam hal ini Ketua Umum.

Namun sebelum rekomendasi turun, dinamika terjadi. ‘Puting beliung’ membuyarkan rencana duet ini, dan munculah kandidat baru, yakni Gibran-Teguh Santosa. Rudy gerah, tetapi masih belum ‘meledak’ tercermin dari basa-basi statementnya yang menyebut rekomendasi adalah prerogatif Ketua Umum, dalam hal ini Megawati.

Sikap Rudy berubah, menjadi galak dan menyala terkait Piplres lalu. Rudy terang-terangan memihak Ganjar. Bahkan ketika PDI Perjuangan belum memutuskan Ganjar sebagai capres, waktu itu masih ada Puan Maharani sinyal Rudy cenderung pro Ganjar. Sikap Rudy tak memihak sang Putri Mahkoti (istilah ini sengaja menjadi diksi dipilih untuk menggantikan putra mahkota) sudah terjadi sejak lama. Sikap kontroversialnya sempat mencuat, yakni dengan mundur sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo. Rudy luluh begitu Megawati turun tangan dan tetap meminta menjadi Ketua DPC kembali.

Kini sengkarut relasi Jokowi-Rudy kembali terulang. Biangnya adalah putusan Megawati terkait pencapresan Ganjar. Publik menilai Megawati tiba tiba berubah sikap, dan mencomot Ganjar menjadi capres. Padahal Ganjar adalah tempaan ‘kawah candradimuka’ bernama Jokowi. Karenanya ketika dia (Ganjar-red) mbalelo, dan memilih Mega menjadi patron barunya.

Dua kali Ganjar digadang-gadang Jokowi menjadi penerusnya ‘menusuk’ dengan sikap politiknya. Pertama saat tiba-tiba ‘menembak’ saat hajad tuan rumah Piala Dunia U-20 telah memasuki injury time. Kedua adalah peristiwa Batu Tulis. Jokowi seperti ditinggalkan, bayangkan sudah ‘mudik’ untuk Lebaran di Solo, tiba-tiba dipanggil untuk deklarasi.

Ganjar Berubah

Publik melihat Ganjar telah berubah, tidak loyal, bahkan mengkhianati Jokowi. Meski sudah dideklarasikan dan rekomendasi Mega telah diberikan ke Ganjar tampak Jokowi masih berupaya menyatukan Prabowo-Ganjar. Tetapi lagi lagi ambisi sang emak dan juga diamini Ganjar duet ideal Prabowo-Ganjar akhirnya pupus. 

Ikhwal tersebut yang membiakkan komplikasi keretakan relasi Jokowi-Megawati di satu sisi, dan Jokowi-Mega di spektrum lain. Berupa rupa kisah lama menjadi seperti martir  diledakkan silih berganti. Kontroversi politik dinasti, tembakan soal food estate, soal IKN, hilirasi nikel, kemudian kedekatan dengan Cina adalah bagian dari upaya bombardemen bombardemen sengaja dimuntahkan.

Orkestrasi lain digaungkan, seperti suara suara nyinyir ikhwal tampilnya Gibran. Rudy ikut naik pentas mengechokan orkestrasi ini. Kampanye Solo milik Ganjar bukan pro Gibran jadi manifestasi untuk mencari simpati.

Namun semua itu luput, dan tak mendapatkan feedback yang memadai. Simak seruan moral seperti diartikulasikan lewat film ‘Dirty Vote’ melibatkan figuran tangguh seperti Zainal Arifin Mochtar, Bvitri Sutanti, dan Fery Amsari nyaris tak berdampak. Banteng-banteng makin bergejolak dengan caranya sendiri. Capaian hasil Pilpres dengan tumbang di kandang adalah fenomena unik.

Peringatan Pacul

Bukan mereka tak loyal lagi pada Megawati, namun itulah bagian dari sikap para banteng mengingatkan sang patronnya. Seperti ungkapan Bambang ‘Pacul’ Wuryanto. Jangan melawan orang baik dan orang cantik kita akan kalah. Politisi senior termasuk tokoh kampium, dengan tiga jabatan prestis sekaligus, yakni Ketua Bapilu, Ketua Komisi III, dan Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah sudah wanti-wanti jangan menyerang Jokowi.  

Serangan itu, justru akan jadi boomerang bagi PDI Perjuangan di Pilpres. Kemenangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka versi quick count di Pilpres 2024 lalu tak lepas dari pengaruh fenomena Jokowi effect. Jadi, masih menukil ucapan Bambang 'Pacul' Wuryanto, matilah kita jika menyerang Jokowi, karena menurut masyarakat dia  orang baik, seperti raihan aproval rating mencapai 70 persen lebih, dan dipahami masyarakat Jokowi memberi afirmasi dukungan kepada Paslon nomor 02.
Ihwal inilah yang menjadi pil pahit yang harus ditelan PDI Perjuangan. Semoga banteng banteng itu akan segera kembali ke kandang lagi, tentu para elite partai perlu memberi teladan yang baik di masyarakat. Prabowo Subianto sendiri telah memberi pelajaran yang elok kepada kita dan itu layak menjadi penutup Catatan Jayanto Arus Adi - kolom ini. Jika kamu tidak dapat mengalahkan maka bergabunglah. Prabowo tidak sekadar bergabung, namun dia menjadikan Jokowi adalah gurunya, 
Pelajaran istimewa tentang sebuah kearifan, kekalahan memang pahit untuk diratapi, namun dia akan menjadi pengalaman indah ketika kita mampu memetik hikmatnya. 

Jayanto Arus Adi

Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jateng. Ketua Bidang Litbang JMSI Pusat, Direktur JMSI Institute, Penggiat Satupena Jawa Tengah dan aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. 
 
Tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili atau merepresentasikan institusi institusi di atas.