KEBINGUNGAN melanda banyak orang melihat rentetan peristiwa politik yang terjadi di negeri ini. Tidak ada angin tidak ada badai, petinggi partai berlambangkan pohon beringin mengundurkan diri. Tidak sampai satu minggu, Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) digelar dengan aklamasi menetapkan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum. Dan, seminggu setelahnya beredar foto sang ketua umum dalam pose yang tidak elok.
Ada kegaduhan lain terjadi.
- KPU Jateng Tetapkan Luthfi-Yasin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024
- Desa Curug, Sukses Laksanakan Pilkada Serentak dengan Tertib
- 1.246 Anggota Satlinmas Pekalongan Siap Amankan Pilkada 2024
Baca Juga
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat dua putusan terkait Pilkada Serentak yang menjadi bola salju pengubah konstelasi politik di Pilkada Serentak 2024.
Para politisi yang semua ragu-ragu, waswas, khawatir, cemas dan kehilangan kepercayaan diri untuk maju; mendadak “gumregah”. Partai politik yang semula “nderek kersa panguwasa” untuk menihilkan Putusan MK dengan ngebut menyelesaikan RUU Pilkada, mendadak menginjak kopling dan rem sekaligus.
Meski ada setitik kecemasan, seperti yang terjadi di PKB yang Muktamarnya di Bali dipermasalahan beberapa elemen masyarakat, termasuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhamimin selaku Ketua Umum menyatakan legawa jika akan diganti, pasrah, dan tidak berambisi.
Pernyataannya seperti mengantisipasi kemungkinan terjadinya “Muktamar Tandingan” yang bisa saja muncul jika hasil muktamar tidak selaras dengan “panguwasa”.
Yang menarik, di beberapa daerah beberapa partai yang semula seperti menunggu arah angin serta menunggu “cawe-cawe”, mulai berani menyatakan sikapnya dengan mengajukan calon sendiri.
Ketakutan yang mungkin terjadi karena pengalaman tidak enak saat Pilpres dan Pileg 2024, mulai berkurang. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang semula menjadi panduan arah partai politik dan kader-kadernya, menjadi es yang mencair di beberapa bagiannya.
Isyarat dan bahasa tubuh dari “panguwasa” yang semula dijadikan patokan, diperdebatkan maknanya, seperti menyurut auranya. Seperti batu meteor yang sudah menyentuh bumi. Bisa jadi robohnya pintu pagar DPR dianggap sebagai isyarat terbukanya jalur politik yang lebih bebas dan longgar pemeriksaannya.
Apakah semua itu merupakan indikasi kembalinya kesadaran politik kita seperti aksi di Jogja yang dipusatkan di Titik Nol? Ataukah karena selama ini kita tersirap dengan jargon-jargon yang memuji bahkan mengkultuskan “panguwasa” bukan saja sampai "berpikir di luar kotak", namun seperti "mewarnai sampai di luar batas", hanya kejujuran diri dalam bingkai kesadaran kita yang bisa menjawabnya.
Bahasa politik seperti yang pernah disitir George Orwel di era Perang Dunia II berlangsung, kerapkali tidak sederhana. Mungkin cenderung rumit dan membuka peluang multitafsir, bahkan membingungkan.
Dalam politik banyak digunakan kata-kata abstrak yang tampak seperti mengatakan sesuatu yang mendalam, tetapi tidak memiliki makna. Banyak dipakai kata-kata tidak jelas yang menambah jumlah kata tanpa menambah kejelasan, menggunakan metafora klise, serta menggunakan kata-kata besar agar terdengar lebih berwibawa.
Situasinya ibarat para politisi bermain layang-layang, namun rakyat dan kritikusnya berteriak dalam lingkup permainan kelereng. Dialog-dialog yang muncul di ruang publik seperti tak nyambung, yang satu kesana yang lain kemari.
Keriuhan yang timbul bukanlah applause atas raihan, tapi indikasi terjadinya kegaduhan karena semuanya berteriak menurut versinya snediri-sendiri.
Bahasa dan isyarat (politik) yang seharusnya merupakan mencerminan pemikiran (dan rasa hati), tersembur seperti mantra yang salah tempat.
Ada proses ritual yang terlihat sakral yang dilakukan di tengah-tengah orang yang sedang tawuran. Kata-kata yang seharusnya menjadi pesan, menjadi isyarat, hanya bisa dipahami oleh orang yang bersuara.
Seperti menebak kemana bajaj akan berbelok: Hanya Tuhan dan Sopir Bajaj yang tahu. Suasana semrawut, pengendara yang menyalakan sign kiri bukan saja berbeloknya ke kanan, namun bisa mendadak berhenti tanpa tanda nyala lampu remnya.
Semuanya menjadi kebiasaan, yang makin menjauhkan penguasa dan rakyat. Pakem dan pemaknaan symbol dan isyarat bebas ditafsirkan. Bahasa politik tidak lagi menjadi cara orang berbagi pikiran mereka yang efektif. Bias menjadi hal biasa, bahkan ada yang sengaja membiasakannya.
Pilkada Serentak 2024, yang semoga bisa berlangsung dengan landasan putusan MK dan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; selayaknya menjadi momentum Kembali ke titik normal, titik kewarasan politik, sekaligus titik balik kembali memiliki rasa malu untuk “nerak angger-angering nagari”.
Kita tinggalkan dan jauhi penggunaan bahasa dan citraan tertentu dalam tulisan yang cenderung merupakan kalimat-kalimat samar yang terdengar enak didengar secara ritmis tetapi sebenarnya tidak bermakna apa pun.
Bertanya kepada diri masing-masing tentang apa yang hendak disampaikan, dilakukan, dan diperjuangkan seperti jadi prosedur tetap (protap) yang harus dipatuhi.
Minimal dipertanyakan dulu tentang apa yang ingin dikatakan, disampaikan, diperjuangkan. Kalau sudah bisa disubyekkan, mulai sekarang perlu dibiasakan menyampaikannya dengan bahasa sederhana, ringkas, dan mudah dipahami.
Supaya ruang publik kita yang sekarang seperti kebanjiran residu komunikasi politik, kembali dialiri air jernih yang bermanfaat.
- KPU Jateng Tetapkan Luthfi-Yasin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024
- Desa Curug, Sukses Laksanakan Pilkada Serentak dengan Tertib
- 1.246 Anggota Satlinmas Pekalongan Siap Amankan Pilkada 2024