Artificial Intelligence: Teknologi Netral

Juniarti Soehardjo
Juniarti Soehardjo

Semua orang mengatakan bahwa Artificial Intelligence adalah disruptor terbesar dunia jurnalisme. Sehingga 2 minggu lalu, sektor pers Indonesia baru saja bersuka cita karena telah keluar Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Untuk mendukung Jurnalisme Berkualitas. 

Keluarnya peraturan presiden ini dianggap sebagai tonggak untuk bangkitnya jurnalisme yang berkualitas.

Tetapi teknologi tidak berhenti di situ. Tidak pula mudah hanya untuk mengekangnya di dalam sektor jurnalisme saja. Untuk mempermudah penulisan maka saya akan menyingkat Artificial Intelligence ini menjadi AI. 

Banyak yang mengatakan dengan bersemangat betapa AI akan menjadi penanda bahwa teknologi telah maju dan banyak kesempatan yang bisa dilaksanakan untuk membuat teknologi ini berguna. 

Para pendukung kemashalatannya akan menekankan sisi positifnya betapa AI akan mempermudah pekerjaan dan hidup manusia. AI akan memberikan kesempatan kreativitas dan inovasi luar biasa.

Oleh sebab itu belum apa-apa, para pihak yang memiliki kepentingan di bidang pengembangan teknologi sudah mengatakan jangan keluarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat keras menghukum. Peraturan perundangan yang rigid akan mematikan kreativitas dan inovasi. 

Bagi para jurnalis, teknologi AI dianggap akan memberikan kemudahan bagi pihak yang hanya punya waktu sempit, apalagi hidupnya selalu dikejar-kejar tenggat waktu menghasikan karya jurnalistik untuk diunggah di media yang diampunya. 

Untuk manusia awam, AI berhenti pada keuntungan dan kemudahan penciptaan konten, terutama bagi tidak punya koleksi kosa kata yang banyak dan tidak berbakat menulis. 

Pendeknya, AI akan membantu dalam hal penulisan dan penyusunan konten elektronik. Beberapa orang yang sudah menyadari dan melek teknologi akan mengatakan bahwa AI akan mudah menelusuri kemungkinan plagiarisme dalam penulisan berita. 

Tapi di sini lah berita buruknhya. AI juga dihembuskan sebagai kedatangan teknologi robotik yang mematikan bagi para pekerja yang biasa saja, seperti profesi penulis, akuntan, ahli hukum, analis, dan banyak lagi. 

Masalahnya adalah Indonesia adalah konsumen teknologi dan selama berpuluh tahun dianggap sebagai pasar yang besar dan manut untuk terima teknologi apa saja. 

Tidak ada riset yang serius untuk mempelajari dampak teknologi terhadap bangsa yang mengembangkan keahlian perundungan, baik luring (offline) mau pun daring (online), yang literasinya rendah dan punya tradisi oral selama ribuan tahun. 

AI merupakan subyek yang tidak bisa dibuat dalam satu tulisan saja. Yang terlewatkan dari pengamatan para penggiat di bidang teknologi informatika apalagi jurnalis Indonesia adalah beberapa waktu yang lalu Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran pada Desember 2023. 

Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial yang ditandatangani tanggal 19 Desember 2023 itu memuat tiga kebijakan yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial. 

Menurut Budi Arie Setiadi, Menteri Komunikasi dan Informatika yang menanda tangani Surat Edaran ini, dokumen legal ini ditujukan kepada pelaku usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial pada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup publik dan privat.

Merujuk pada tujuan dikeluarkannya Surat Edaran ini adalah bagi para pelaku usaha, maka pendekatannya sudah tentu berbasis teknologi.

Pelaku usaha dan entitas PSE, publik mau pun privat, adalah suatu entitas bisnis yang kegiatannya sehari-hari belum tentu semua orang paham dan menyadarinya.

Pendeknya Surat Edaran itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan AI adalah pendukung aktivitas manusia untuk meningkatkan kreativitas pengguna dalam menyelesaikan permasalahan dan pekerjaan.

Selain itu para PSE tersebut wajib menjaga privasi dan data sehingga tidak ada individu yang dirugikan; dan terakhir agar ada pengawasan pemanfaatan mencegah penyalah gunaan AI oleh pemerintah, penyelenggara dan pengguna.

Secara ideal, Surat Edaran ini memastikan agar AI tidak diselenggarakan sebagai penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang menyangkut kemanusiaan.

Lalu AI adalah untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan pengembangan teknologi berbasis AI oleh pengembang (teknologi) untuk mencegah dampak negatif dan kerugian dari teknologi; dan terakhir agar semua PSE memastikan manajemen resiko dan manajemen krisis dalam pengembangan AI.

Naskah legal ini menimbulkan pertanyaan dan malahan tidak memberikan jawaban. Secara legal, saya memahami mengapa Kominfo ingin mengatur infrastruktur atau pengusaha PSE terlebih dahulu.

Akan lebih mudah mengatur PSE karena memang mereka yang mengembangkan dan mengimplementasikan aplikasi AI dalam entitas bisnisnya. 

Tetapi di sisi lain, Kominfo sebagai kementerian yang memiliki banyak ahli teknologi, selayaknya menjadi panglima perang yang menyusun strategi bagaimana Indonesia mempersiapkan ledakan disrupsi dan semua dampak negatif dan positifnya dari teknologi AI. 

Kominfo sewajarnya mengambil langkah-langkah perlindungan bagi warganya. Kominfo yang selayaknya mengingatkan pimpinan-pimpinan eksekutif, legislatif dan yudikatif tentang dampak besar teknologi ini.

Permasalahan teknis teknologi sewajarnya dihadapi dengan melakukan riset, menganalisa serta mengeluarkan rekomendasi dan kemudian membuat naskah akademis, peta jalan (roadmap) atau pun kebijakan yang sesuai dengan keperluan Indonesia dan khusus Indonesia. 

Dan dengan mengajak para sarjana ilmu sosial seperti ahli pendidikan, ahli antropologi, ahli sosiologi, ahli komunikasi, dan bahkan para ahli hukum, yang secara karakteristik terkenal sangat konservatif. 

Para ahli ilmu sosial itu juga patut diberikan pemahaman yang sama tingkatnya tentang perkembangan teknologi yang akan mengubah cara hidup manusia.

Yang perlu diingat bagi para pengambil kebijakan di kementerian teknis adalah untuk memastikan ada koordinasi dari berbagai entitas dan institusi pemerintahan pusat mau pun daerah dalam menggunakan teknologi. 

Masih belum kering tinta di jari warga Indonesia saat menandai dirinya sebagai pemilih yang melakukan partisipasi memberikan suara di dalam Pemilu 2024.

Sebulan terakhir ini terjadi berbagai perdebatan yang membuat rakyat Indonesia mendengar istilah-istilah teknologi yang semakin membuat keder: Quick Count. Real Count, Sirekap, server KPU, host server dan istilah-istilah lain yang terlalu banyak dan membanjiri benak pembaca dan pemirsa. 

Semua orang yang memiliki media sosial mendadak menjadi ahli teknologi dan aplikasi dalam semalam. Ini belum lagi perbincangan di bidang politiknya.

Lalu dalam kondisi kelimpungan itu, rakyat Indonesia menyadari bahwa Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Tentang Etika Kecerdasan Artifisial 3 bulan yang lalu. 

Indonesia memerlukan pedoman dan program yang melindungi kepentingan Indonesia. Indonesia layak diberi tahu tentang dampak teknologi terhadap bangsa Indonesia dengan memberikan kerangka waktu persiapan untuk menghadapi AI secara umum. 

Belum lagi pengaruhnya terhadap data base soal kependudukan, efeknya terhadap pendidikan, cara berkomunikasi, penanganan kesehatan, disrupsi terhadap bisnis, permasalahan hukum, sengketa hukum, kepentingan ekonomi, alur perdagangan, dan berbagai dampak utama mau pun sampingannya. 

Yang sudah mencegat di hadapan mata pengambil kebijakan Pemerintah, pusat mau pun daerah, adalah pengaruh AI terhadap pengembangan kebijakan, keperluan administrasi, penyelenggaraan finansial dan investasi, militer, keamanan negara serta hal-hal yang tak terbayangkan pada saat ini.