Gemericik air terdengar dari pipa pralon di tengah embung. Terdengar ritmis, ditingkahi cuitan burung jalak, perkutut dan pipit yang beterbangan dari arah hutan Bukit Cenandi yang berada tak jauh dari embung. Panas terik yang menusuk kulit siang itu, tak dihiraukan oleh Subari (55), petani Desa Kalibareng, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal.
- Kedaulatan Udara Dan Legacy Garuda, Sudut Pandang Penguasaan Langit Indonesia
- Bupati Esti: Petani Harus Mampu Mengoperasikan dan Merawat Alsintan
- Ganjar Dorong UMKM Berdikari, Prof FX Sugiyanto: Cara Tepat Atasi Kemiskinan
Baca Juga
Matanya awas menyoroti sekeliling embung. Sesekali tangannya cekatan mencabuti rumput yang merambati dinding di tepian embung. Ayah dua anak itu tak lupa pula menengok kebunnya, yang berada tepat di kanan dan kiri embung. Di lahan itu, ditanaminya timun suri dan labu di sisi timur. Di sisi barat, ditanaminya jagung.
Bagi warga Desa Kalibareng, Subari adalah ‘pahlawan’. Petani berpenampilan kalem dan bersahaja itu, menghibahkan tanahnya seluas 1800 meter persegi untuk dibangunkan embung yang bermanfaat mengairi lahan pertanian dan kebun milik warga. Embung itu diresmikan tepat di hari Valentine, 14 Februari 2023, oleh Gubernur Jateng, saat itu, Ganjar Pranowo.
‘’Semula embung ini, mau diberi nama Embung Cenandi, karena tepat berada di bawah Bukit Cenandi. Tapi, oleh Pak Ganjar, diberi nama saya. Semula, saya tidak enak hati, tapi gimana lagi, ya mboten napa-napa, saya terima,’’ ungkap Subari, kepada RMOL Jateng, Senin (16/10).
Subari, petani Desa Kalibareng, yang menghibahkan tanahnya untuk pembangunan embung di desanya.
Maka jadilah, Embung Subari. Bahkan namanya tertulis besar-besar di tembok embung. Kapasitas total embung dapat menampung 5000 meter kubik air, yang sumbernya berasal dari mata air Tok Aji di Bukit Cenandi. Ada dua pralon besar sepanjang masing-masing 30 meter, terhubung dari mata air ke tengah-tengah embung.
Di musim kemarau saat ini, keberadaan Embung Subari adalah penyelamat bagi para petani di desa tersebut. Air embung sangat dirasakan manfaatnya oleh para petani setempat yang tetap dapat bercocok tanam, meski tak ada hujan.
‘’Sebelum ada embung, kalau musim kemarau seperti ini, sama sekali tak bisa tanam, karena tak ada air. Lahan pertanian di sini tadah hujan, kalau tak ada hujan, ya nganggur,’’ kata Subari.
Sebaliknya, saat musim hujan tiba, air dari Bukit Cenandi mengalir deras, dan menggenangi lahan pertanian. ‘’Banyune turah-turah (airnya melimpah). Dulunya, sebelum ada embung, tanah di sekitar sini tergenang air, mirip kayak sungai kecil, ’’ imbuhnya.
Sejak ada embung, kata Subari, penggunaan air untuk lahan pertanian menjadi lebih baik, dikelola secara efektif dan efisien. Embung dapat mengairi setidaknya 35 hektare lahan pertanian yang ada di Desa Kalibareng.
Ketua kelompok tani (poktan) Marsudi Tani Desa Kalibareng, Slamet Susilo menambahkan, sejak adanya embung, petani Kalibareng dapat menikmati panen hingga 3 kali setahun. ‘’Dulu hanya 2 kali setahun, karena musim kemarau, praktis tak ada air,’’ ujar pria yang juga menjabat Kaur Kesra Pemdes Kalibareng ini.
Slamet Susilo berkisah, gagasan pembangunan embung dimulai dari 2019. ‘’Berawal dari mimpi sekitar 10 orang warga yang sering ngumpul sambil ngopi bareng di rumah saya, berandai-andai tentang keberadaan embung di Desa Kalibareng,’’ tutur pria yang menjadi perangkat desa sejak 2017 ini.
Wacana tentang embung itu pun disampaikan kepada Dinas Pertanian Kabupaten Kendal. Pada 2021, pihaknya mendapat kabar dari Baperlitbang Kabupaten Kendal, ada anggaran untuk pembangunan embung dari Pemprov Jateng melalui Dinas Pertanian Kendal.
‘’Nah ini, bagaikan pucuk dicinta ulam tiba, anggarannya ada, tapi lahannya belum ada. Kami mencari, lahan siapa yang bisa digunakan membangun embung. Siapa yang mau meminjamkan lahannya. Akhirnya, Pak Subari bersedia, bukan hanya dipinjam, tapi justru menghibahkan tanahnya untuk embung,’’ ujarnya.
Akhirnya, pada awal tahun 2022, embung pun mulai dibangun. ‘’Pak Ganjar sampai datang 2 kali ke sini, pertama saat proses pembangunan, dan kedua saat peresmian. Pihak Kabupaten Kendal datang sampai 6 kali,’’ imbuhnya.
Ketua Poktan Marsudi Tani, Slamet Susilo.
Pembangunan embung, kata Slamet Susilo, bahkan dikawal langsung oleh para anggota Marsudi Tani. Meski tak dapat bayaran, mereka secara bergiliran mendampingi para tukang bekerja dari pagi hingga sore hari. Kurang lebih 5 bulan waktu pembangunan, embung pun selesai dibangun dan diresmikan pada 14 Februari 2023. Embung Subari bahkan kini telah bersertifikat Hak Milik (HM) Desa Kalibareng.
Selain embung, warga desa pun berpartisipasi merelakan lahannya untuk akses jalan sepanjang 550 meter menuju embung. ‘’Ada 11 KK yang menyediakan tanahnya untuk dipakai sebagai akses jalan menuju embung, tapi kondisi jalannya masih berbatu. Harapannya kedepan dapat bantuan, dibuat mulus, agar dapat mempermudah transportasi saat panen tiba,’’ tambahnya.
Setelah ada embung, kata dia, ada impian lagi yakni pralonisasi, untuk menyambungkan air dari embung langsung ke lahan pertanian milik warga. Hal itu merupakan impian, sekaligus kendala. "Sekarang kan debit air embung sudah digunakan terus, nah taruhlah per detik 1 kubik, misalnya, sampai ke sawah yang mau diairi akan berkurang banyak. Karena itu, lebih efektif bila ada pralonisasi. Bukan lagi irigasi," paparnya.
Terkait pralonisasi itu, Slamet Susilo menuturkan, pihaknya sudah mengajukan proposal ke Dinas Pertanian Kendal. Tapi, blm di-acc. ‘’Harapannya menjadi pertanian moderen, ada kincirnya, tinggal ceklek, air langsung dapat menyirami tanaman. Pralonisasi juga berguna untuk menghemat air,’’ imbuhnya.
Untuk pembangunan akses jalan dan pralonisasi, kata dia, sudah diajukan ke dinas terkait. Namun belum membuahkan hasil. ‘’Kami sudah mengajukan proposal, tapi gagal karena terlambat. Saat itu, datanya kami kirim, ternyata operator input data di Dinas Pertanian Kendal bilang sudah terlambat, jam 8 sudah ditutup karena sudah di-SK-kan. Kalau tidak terlambat harusnya awal 2024 dananya cair, tapi kami harus mengajukan lagi tahun 2024 untuk cair pada tahun 2025,’’ ungkapnya.
Embung Subari, praktis menjadi penyelamat bagi ratusan petani di Desa Kalibareng. Seluruh warga yakni 666 KK di desa berpenduduk 1.993 jiwa ini, adalah bermatapencarian sebagai petani (pemilik lahan) dan buruh tani.
‘’Dari 666 KK, 400 di antaranya adalah buruh tani, sisanya petani. Buruh taninya di Perhutani,’’ kata Slamet Susilo.
Para petani di desa ini pun menjalin kemitraan dengan PT Pertindo Pratama di Semarang. Pihak perusahaan membeli buah premium dari petani setempat yang melakukan budidaya melon, pepaya dan semangka. Kemitraan berlangsung sejak 2018. Pihak perusahaan membeli buah seharga Rp5.000 perkilogram untuk pepaya dan melon, dan Rp10.000 untuk semangka.
‘’Hampir semua hasil panen petani diserap oleh kemitraan. Tentu saja ini sangat menguntungkan. Sayangnya, SDM untuk budidaya ini belum sepenuhnya memadai, perlu kami tingkatkan lagi,’’ ujarnya.
Muhtarom, petani anggota Poktan Marsudi Tani Kalibareng.
Muhtarom (43), petani anggota poktan Marsudi Tani mengaku, embung membuatnya dapat menikmati tiga kali panen. Selain menanam pepaya, melon dan semangka, dia juga menanam cabe. Hasilnya dijual di pasar lokal sekitar Kendal.
‘’Alhamdulilah, embung membuat kami tidak nganggur lagi saat musim kemarau. Saat ini, saya bisa tanam jagung,’’ ujar Muhtarom.
Petani lainnya, Slamet Cahyono (43) juga berpendapat senada. Embung dapat meningkatkan penghasilan petani. ‘’Embung dapat membuat para petani terus menanam, dan menghasilkan uang yang cukup untuk menafkahi anak istri,’’ kata pria beranak empat ini.
Slamet Cahyono (kanan) bersama Subari.
Subari sendiri selain menanam pepaya, melon dan semangka, juga menanam cabai dan brambang (bawang merah). ‘’Dalam setahun, brambang bisa dipanen tiga kali. Setiap panen, bisa menghasilkan dua ton. Hasil panen bisa mencapai Rp20 juta, dikurangi produksi Rp7 juta, saya bisa meraup untung Rp13 juta,’’ ungkap Subari.
Dari bertani, Subari telah menghasilkan seorang sarjana. Putri sulungnya, Zulfa Zulaidyah, lulus sarjana S1 Sosiologi dari Universitas Negeri Semarang pada 2020 lalu, dan saat ini bekerja di Semarang. Sedangkan anak bungsu, Muhammad Reyhan Mubarok, masih SMK kelas 1 di Patean, Kendal.
Slamet Susilo mengaku berbangga hati. Anggota kelompok taninya dapat makmur, dan mampu menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi. ‘’Saat ini, Kalibareng telah memiliki 11 orang sarjana, akan disusul calon sarjana lain yang sebentar lagi akan lulus SMA dan melanjutkan ke bangku kuliah, semuanya dari hasil bertani,’’ pungkasnya.
Di Grobogan, para petani di Desa Tegalrejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, pun berbahagia dengan kehadiran embung mini di desanya. Rohman (54), salah seorang petani anggota poktan Ngudi Makmur, mengaku kehadiran embung mini Tegalrejo dapat menjamin kelangsungan para petani bercocoktanam.
‘’Alhamdulilah, hasil menanam alpukat yang ditanam 3 tahun lalu, dapat panen 2 kali, pertama pada September lalu dan kedua Oktober ini. Ada yang laku 5-7 kuintal berkisar antara Rp5-10 juta,’’ ujar Rohman kepada RMOL Jateng.
Rohman, petani Tegalrejo, Wirosari, Kabupaten Grobogan. foto: dokpri.
Rohman menuturkan, saat musim kemarau, air embung hanya dapat mengairi sekitar 5 hektare sawah, yang berada dekat embung. Itu karena pasokan air berkurang drastis, akibat belum adanya hujan, apalagi kondisi tanah yang mengandung kapur. Saat ini, air embung dimanfaatkan untuk menyiram tanaman 2 kali sehari. ‘’Hanya petani yang tanam yang boleh ambil air embung,’’ kata Rohman.
Embung mini Tegalrejo memiliki daya tampung hingga 15.749 meter persegi, dan diprediksi dapat memasok kebutuhan perkebunan warga hingga 70 hektare.
‘’Saat kemarau, para petani di sini tanam alpukat, duren, dan di luar musim kemarau biasa tanam padi dan palawija,’’ kata Rohman.
Embung Tegalrejo. foto: dok.
Selain mengairi lahan pertanian, kehadiran embung juga menjadi objek wisata oleh warga setempat.
Gerakan Seribu Embung
Embung Subari dan Embung Mini Tegalrejo, merupakan bagian dari Gerakan Seribu Embung yang digagas pada 2015 oleh Gubernur Jawa Tengah, saat itu, Ganjar Pranowo. Tercatat, sebanyak 1.135 embung telah dibangun di Jawa Tengah dan akan terus ditambah.
Keberadaan embung, kata Ganjar, besar manfaatnya untuk masyarakat, karena Jawa Tengah kerap dilanda bencana kekeringan saat musim kemarau, dan banjir saat musim hujan. Air yang ditampung dalam embung dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah saat musim kemarau, dan menyediakan sumber air baku untuk warga. Apalagi, sebagai salah satu lumbung pangan di tanah air, Jawa Tengah harus menjaga produktivitas pertaniannya.
Sementara, saat musim hujan, embung berfungsi sebagai penampung air dan pengendali banjir. “Embung ini menjadi solusi persoalan kebutuhan irigasi dan air baku,” ujarnya.
Ganjar mengatakan, anggaran pembangunan embung bersumber dari APBN dan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pembangunan embung yang didanai APBN dikerjakan oleh BBWS (141 unit), dan Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah (512 unit).
Pembangunan embung-embung itu yang didanai APBD Jawa Tengah dilakukan secara gotong royong oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (74 unit), Dinas Pertanian dan Perkebunan (4 unit), dan pemerintah kabupaten/ kota (11 unit). Jawa Tengah juga mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat untuk membangun 390 embung, dan hibah CSR perusahaan sebanyak 3 unit.
Kepala Dinas Pusdataru Prov Jateng, Eko Yunianto. dok. Pusdataru Jateng.
Kepala Dinas Pusdataru Provinsi Jateng Eko Yunianto mengatakan, pihaknya telah membangun 74 unit embung di 19 kabupaten/kota. Embung tersebut ditambah dengan 17 long storage milik Pusdataru berkapasitas tampungan air mencapai 2,5 juta m3. Pemanfaatannya untuk irigasi 2.015 hektare lahan pertanian, dan sumber air baku untuk 27.912 kepala keluarga (KK).
Selain embung, di Jawa Tengah juga terdapat 41 bendungan eksisting. Eko menambahkan, saat ini tengah dibangun tiga bendungan baru, yakni Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang, Bendungan Jlantah (Karanganyar), dan Bendungan Bener (Purworejo).
Ada pula empat bendungan yang sertifikasi operasionalnya masih berproses, yaitu Bandungan Logung (Kudus), Bendungan Gondang (Karanganyar), Bendungan Pidekso (Wonogiri), dan Bendungan Randugunting (Blora).
“Bendungan tidak hanya dimanfaatkan airnya untuk irigasi dan sumber air baku untuk warga, melainkan juga untuk menyuplai kebutuhan industri dan pariwisata,” ungkapnya.
Keberadaan embung di Jawa Tengah, terbukti sangat dirasakan manfaatnya oleh ribuan petani di daerah ini. Air embung, menjadi penyelamat di musim kemarau, bagaikan air kehidupan yang membasahi ribuan hektare lahan pertanian yang kering dan gersang.
- Purbalingga Ekspor Gula Kelapa 150 Ton Ke Amerika Serikat
- Demak Expo 2024: Sukses Besar Namun Dapat Masukan Dari UMKM
- Pemkab Jepara Dorong UMKM Naik Kelas