Kabut masih bergelayut di ujung dedaunan, saat ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Warga Desa Samirono, yang terletak di lereng Gunung Merbabu, pun bergeliat untuk memulai kehidupannya.
- Lepas Tiga Kontainer Alas Kaki Asal Salatiga, Zulhas : Gangguan Pasar Dalam Negeri Ada Satgas
- Gibran: Jangan Aji Mumpung, Laporkan Jika Ada yang 'Ngepruk'
- Gubernur Jateng Siapkan Strategi Atasi Kenaikan Harga Pangan
Baca Juga
Hawa dingin yang membekap tubuh pagi itu, tak lagi dihiraukan Sobari (37), saat berkutat di kandang sapi miliknya. Tanpa jijik, laki-laki itu mengumpulkan gumpalan demi gumpalan kotoran dari bawah lima ekor sapi miliknya. Tangannya lincah mengambil sekop dan memindahkan kotoran yang menumpuk itu, lalu memasukkannya ke bak penampungan.
Kegiatan itu bagi Sobari dan warga Desa Samirono, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, menjadi ritual yang rutin dilakukan setiap pagi. Setiap jam 06.00 WIB, selama setengah jam atau satu jam, warga membersihkan kandang, dilanjutkan lagi sore harinya sekitar pukul 16.00 WIB.
Kotoran sapi yang melimpah ruah di desa itu dikembangkan menjadi biogas, dengan bantuan hibah reaktor atau digester (alat pembuat biogas) dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jateng.
“Dari setiap ekor sapi, kotoran yang terkumpul sekitar 30-40 kg. Kotoran sapi bercampur urin ini kita masukan di bak penampungan dan dicampur air, setelah itu, gas dipisahkan dari ampas kotoran oleh digester, kemudian ampasnya disalurkan ke bak pembuangan,” ujar Sobari, kepada RMOL Jateng, Minggu (27/8/2023).
Sobari (37) bersama Riyadi (kanan), warga Dusun Pongangan, menyalakan kompor berbahan bakar biogas dari limbah kotoran sapi.
Di belakang rumahnya, terdapat 1 unit digester berkapasitas 6 meter kubik berupa dua bak dan satu tiang dari pipa.
Menurut Sobari, untuk menggerakkan digester berkapasitas 6 meter kubik cukup dari kotoran yang dihasilkan 2 ekor sapi atau setara dengan 50-70 kg, yang diisi setiap 2 hari sekali.
Sejak memiliki digester biogas, praktis Sobari mengaku tak lagi membutuhkan elpiji melon (elpiji 3 kg) untuk keperluan memasak. Padahal, sebelum ada biogas, dalam sebulan, dia membutuhkan rata-rata 4 tabung elpiji melon.
Kehadiran biogas sangat membantu dia dan warga di desanya. Selain tidak lagi menggunakan kayu bakar, mereka juga dapat menghemat penggunaan elpiji.
“Sejak ada biogas, warga yang biasa membeli rata-rata empat elpiji melon sebulan, kini hanya membeli satu atau dua elpiji saja. Atau bahkan ada yang tak perlu membeli elpiji sama sekali, karena kebutuhannya sudah terpenuhi dari biogas,” ujar pria yang pernah menjabat Kepala Dusun Pongangan ini.
Hal serupa juga diakui Prihatin Ngatini (47), warga Dusun Pongangan. Dia mengatakan, biogas dari kotoran sapi miliknya telah menggantikan elpiji 3 kg untuk keperluan memasak di dapur.
‘’Sejak ada biogas komunal, saya tak lagi tergantung pada elpiji. Cukup pakai biogas, urusan dapur selesai. Biogas juga aman, dibanding elpiji,’’ kata Ngatini, yang memiliki digester berkapasitas 6 m3 di belakang rumahnya.
Jika dikalkulasi, warga desa dapat melakukan penghematan uang belanja sehari-hari. Saat ini, harga pasaran elpiji melon tiga kilogram Rp22 ribu. Jika rata-rata warga membeli empat tabung elpiji, maka dalam sebulan membutuhkan biaya Rp88 ribu sebulan. Jika warga cukup membeli dua elpiji saja dalam sebulan, maka dapat menghemat Rp44 ribu. Tapi, jika warga sama sekali tak membeli elpiji, dapat menghemat Rp88 ribu.
Belum lagi, penghematan dari listrik PLN, karena mulai sore hingga malam hari selama 5-7 jam warga menggunakan biogas untuk penerangan. Jika listrik tiba-tiba padam, warga bisa mengaktifkan biogas untuk menyalakan petromaks dengan bahan bakar biogas.
“Kalau listrik padam, petromaks ini langsung kita nyalakan. Membantu anak-anak tetap bisa belajar di malam hari,” ujar Ngatini.
Dikatakan, biogas juga tak berbahaya. Jika pipa atau selang bocor, tak memicu kebakaran seperti elpiji. ‘’Paling hanya berbau kotoran sapi, itu pertanda ada yang bocor,’’ tambahnya.
Bagi warga desa yang sebagian besar merupakan petani dan peternak, pengeluaran biaya rumah tangga yang dapat dihemat berkat biogas tersebut, merupakan anugerah luar biasa yang sangat disyukuri.
Sobari, adalah warga Desa Samirono yang menjadi pionir mengikuti bimbingan teknis biogas dari Kementerian ESDM di Bandung pada 2019.
Menurut Sobari, digester biogas berfungsi untuk menampung gas metana hasil fermentasi kotoran sapi. Limbah organik sapi kemudian diubah oleh konsorsium mikro organisme anaerob menjadi biogas. Biogas kemudian dialirkan ke rumah-rumah dengan pipa untuk keperluan memasak dan penerangan.
Di dusunnya, Pongangan, terdapat 54 unit digester biogas, dipakai oleh 78 KK, atau yang terbanyak dari lima dusun yang ada di Desa Samirono.
“Dusun kami lebih banyak digester, karena di sini yang paling banyak ternak sapinya. Ada 726 ekor sapi milik warga dan 643 ekor sapi potong milik pengusaha yang kandangnya ada di dusun ini,’’ ujar Sobari.
Sebanyak 54 unit digester biogas itu ada yang berkapasitas 100 meter kubik (m3), 50 m3, 20 m3, 10 m3, dan 6 m3. Sobari menjelaskan, digester kapasitas 100 m3 dapat mengaliri kebutuhan gas dan penerangan untuk 20 rumah.
‘’Yang 50 m3 bisa menerangi 10 rumah, 20 m3 untuk 7 rumah, 10 m3 untuk 5 rumah, sedangkan kapasitas 6 m3 hanya untuk 1 rumah,’’ paparnya.
Dari 54 unit digester, kata Sobari, tinggal 49 unit yang aktif. Yang 5 lainnya tak berfungsi dengan baik. ‘’Ada yang tak digunakan lagi, karena pemiliknya sudah sepuh dan tak lagi memiliki sapi, ada pula yang betul-betul sudah rusak, dan belum diperbaiki,’’ imbuhnya.
Sekretaris Desa Samirono, Didik Mustofa (43) mengungkapkan, Desa Samirono memiliki 800 KK dengan 2.527 jiwa. Kondisi geografis Samirono yang berada di lereng Gunung Merbabu, yang subur dan berudara sejuk menjadi lingkungan yang sangat ideal bagi budidaya sapi perah. Tak heran, di desa yang berada di ketinggian 1.086 mdpl ini memiliki jumlah sapi sebanyak 1.417 ekor.
Dari data kepala keluarga di Desa Samirono tersebut, jika 800 KK rata-rata membeli 4 elpiji, maka dalam sebulan membutuhkan 3.200 tabung elpiji, yang menelan dana total Rp70.400.000.
‘’Dari biogas komunal ini, hampir seluruh warga desa kami telah meninggalkan elpiji melon, karena seluruh kebutuhan memasak di dapur sudah dapat dipenuhi oleh biogas yang dimiliki setiap rumah,’’ ujar Didik.
Bayangkan, penghematan warga desa terbilang sangat luar biasa. Warga desa bisa melakukan penghematan senilai Rp70.400.000 dalam sebulan!
Didik menjelaskan, reaktor biogas pertama kali dibangun di desanya pada 1992 di rumah warga bernama Suyut. Pada 2002, mulai dikembangkan biogas komunal dengan membangun 9 unit digester biogas. Pada 2010-2012, bertambah lagi 4 unit bantuan dari pihak swasta.
“Tahun 2013, kami berhasil memenangkan Lomba Desa Mandiri Energi tingkat Provinsi Jawa Tengah,” ujar Didik.
Tahun 2016, Desa Samirono masuk nominasi Penghargaan Energi Tingkat Nasional yang diselenggarakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI. Pada 2017, mendapat tambahan 2 unit digester dari Dinas ESDM Provinsi Jateng. Setahun kemudian, menerima lagi 2 unit dari Dinas ESDM. Pada 2018, total ada 41 unit yang digunakan oleh 152 KK. Pada 2019, dibangun lagi 5 unit digester biogas di Dusun Pongangan dan Kendal.
Seiring waktu, digester generasi pertama banyak yang rusak, sehingga saat ini, tersisa 49 unit, dengan total volume 722 meter kubik dan kapasitas produksi mencapai 290 meter kubik per hari, yang digunakan 115 KK. Selain bantuan hibah dari pihak swasta dan Pemda, pihaknya juga mengalokasikan dana desa untuk pembuatan digester secara swadaya.
Suasana Desa Samirono, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, yang asri, sejuk dan nyaman. Limbah kotoran sapi yang dikembangkan menjadi biogas komunal telah menjadi energi masa depan yang bersih dan sehat.
Pada 2018, diberikan dana stimulan Rp5 juta untuk setiap KK yang akan membangun digester. Pada 2019, dialokasikan Rp10 juta untuk biaya perawatan seluruh unit digester. Tahun 2021, Pemerintah Desa Samirono mendapat bantuan 20 unit digester berkapasitas 6 meter kubik ke Dinas ESDM Provinsi Jateng.
Kedaulatan Energi
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus mendorong dan mendukung pembangunan reaktor atau digester biogas komunal di provinsi ini. Hal itu sebagai upaya menjadikan energi baru terbarukan (EBT) sebagai bagian dari Rencana Strategis (renstra) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mewujudkan kedaulatan di bidang pangan, air dan energi.
“Kami terus mengembangkan EBT sebagai bagian dari upaya mewujudkan kedaulatan energi di Jawa Tengah,” ungkap Sujarwanto.
Pihaknya terus membangun reaktor biogas di banyak tempat. Bukan hanya yang berbahan baku kotoran sapi, melainkan yang bersumber dari limbah produksi tahu tempe dan limbah produksi pati onggok (tepung dari batang pohon aren).
Di Klaten, misalnya, energi biogas hasil pengolahan limbah cair pati onggok di Desa Daleman, Kecamatan Tulung, digunakan lagi untuk proses produksi soun, hunkwe dan dawet dari bahan baku pati onggok tersebut. Pengolahan limbah ini didanai Pemerintah Kerajaan Denmark dan Pemprov Jateng senilai Rp13 miliar.
Tahun 2020, pihaknya membangun 36 unit reaktor biogas di 17 kabupaten dan kota dengan anggaran Rp2 miliar. Lokasinya tersebar di berbagai tempat, antara lain di sentra-sentra ternak sapi di Getasan Kabupaten Semarang, Sragen, Boyolali dan Wonogiri. Pada 2019, dibangun 8 unit digester biogas total kapasitas 96 meter kubik, untuk pesantren di Purworejo, Pati dan Magelang.
Hingga 2019, telah terbangun 20 unit biogas melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus ke pemerintah kabupaten dan 111 unit melalui APBN ke Kementerian ESDM. Untuk pengadaan digester biogas, Dinas ESDM Provinsi Jateng mengucurkan anggaran, yakni hibah 10 unit pada 2018 Rp484.467.000, berikutnya 17 unit Rp999.330.000 (2019), dan pada 2021, dikucurkan Rp4,87 miliar untuk pengadaan 98 unit.
Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Jateng, Eni Lestari menambahkan, hingga Juli 2023, Pemprov Jateng telah menyalurkan bantuan sebanyak 3.177 unit digester biogas ke 35 kabupaten/kota di Jateng, dengan total kapasitas 40 ribu m3.
Energi Masa Depan
Didik Mustofa lebih lanjut mengatakan, sebagian besar warga Desa Samirono bekerja sebagai petani/pekebun dan peternak.
‘’Di desa kami, terdapat 3 warga yang bekerja sebagai pengepul susu sapi, selain itu ada pula 3 warga lainnya yang bertugas keliling untuk membeli dan menjual kembali susu sapi milik warga,’’ ujar Didik.
Memiliki lahan seluas 333,99 hektare (ha), sebagian besar lahan Desa Samirono merupakan lahan perkebunan/pertanian, yakni 262,04 ha. Petani di desa ini menanam aneka tanaman sayur-sayuran segar, yang menjadi komoditas pertanian penting untuk dijual ke kota-kota di sekitarnya.
Adanya digester biogas di desa ini, diakui Didik, juga memberikan keuntungan lain bagi warga, yakni pupuk organik sisa pembuatan biogas untuk pertanian.
“Ampas kotoran sapi hasil pengolahan biogas, dapat langsung digunakan untuk memupuki sayuran milik warga. Ampas yang masih basah maupun yang sudah kering, bisa langsung digunakan sebagai pupuk karena sudah aman, tidak ada kandungan gas. Tanah makin subur dan tanaman tak gampang mati. Keuntungan lain, udara dan lingkungan menjadi bersih, tidak berbau,” ujar Didik.
Selain dipakai sendiri, pupuk organik ini juga diperjualbelikan kepada masyarakat luas. Banyak pembeli datang dari luar kota membeli pupuk organik milik warga. Sudah sejak puluhan tahun, aneka sayur-mayur milik warga desa menjadi komoditas pertanian unggulan yang menjadi penopang ekonomi desa.
Ya, dua puluh satu tahun bergeliat dari lenguh dan kotoran sapi, bagi Didik, dan seluruh warga Desa Samirono, biogas komunal dari limbah kotoran sapi telah mengubah hidup mereka, menjadi energi masa depan yang dapat diandalkan bagi hajat hidup seluruh warga.
- Dikawatirkan Picu Gesekan, PJ Bupati Pati Soroti Dinamika Politik dan PKPU Pilkada
- Baru Sepekan Menjabat PJ Bupati Pati, Sujarwanto Diganjar Penghargaan Presiden Jokowi. Kok Bisa Ya?
- Serangan Hoax Bertubi-tubi, Pramuka di Pati Keluarkan Jurus Perangi Dampak Buruk Era Disrupsi